Kawah Ijen 2018
28/07/2018
Berangkat pagi buta untuk bersiap menuju terminal, ojek online Uber pun sudah tiba dan siap perjalanan. Pukul 06.20 duduk seorang diri menunggu seseorang sembari menikmati udara yang masih bersih.
Terlihat sinar mentari baru muncul dari pergantian shift dengan bulan bintang. Cahayanya yang masih khas dengan bersemu dalam kegelapan membuat takjub akan kuasa Allah.
Bertemu dengan temanku—Ludvi—yang juga diantar ojek online. Kami pun berjalan menyusuri koridor terminal bersama dengan banyak orang-orang yang juga hendak liburan (sepertinya). Menuruni tangga dan membaca satu-persatu tulisan yang ada pada plakat,
“Situbondo. Nah, ketemu!” ucapku.
“Pak, turun ke Bondowoso bisa?” tanya Ludvi kepada kernet yang
mengarahkan kami untuk masuk ke dalam bis.
"Bisa mbak, parkir dulu di Probolinggo, kalo berhentinya sebentar mbak tinggal membayar biaya tambahannya (terusan)."
"Oke, Pak!"
Naik bis Ladju dengan tarif 25.000/orang.
09.16 transit di terminal Probolinggo dan oper bis lain. Ketemu bis yang sama akhirnya kami naik dengan tarif 18.000/orang.
Tak
terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.46, jalanan mulai menaik dengan
disuguhi pemandangan yang masyaallah, laut biru disertai banyak perahu di situ.
11.39 Bis berbelok ke kiri dan berhenti, kami pun bergegas turun dan lari menuju jalan raya dengan riang gembira, sudah tak sabar untuk memasuki Kawah Ijen. Namun, haha! kami sontak berhenti sambil mengamati keadaan di sekitar.
“Loh, ini udah Kawah Ijen belum sih?” tanyaku.
“Kok kayaknya belum ya Mbak? Coba aku tanya orang,” jawab
Ludvi.
Akhirnya kami pun bertanya kepada sopir bis yang kami naiki tadi, dan benar kami harus oper untuk menuju ke terminal Situbondo. Kami transit di terminal Besuki.
Karena perut sudah lapar kami berjalan mencari tempat makan. Terlihat menara Masjid menjulang tinggi dan terdapat warung makan di situ.
Akhirnya kami memutuskan untuk singgah dan makan pangsit mie ayam.
Harga pangsit+es teh 7.500. Murah banget! Rasanya enak dan nikmat.
Adzan dhuhur sudah terdengar, kami melipir ke Masjid untuk melaksanakan ibadah Dhuhur.
Perut kenyang dan tubuh terasa segar, kami berjalan kembali ke terminal Besuki. Bertanya kepada penjaga loket.
"Pak, bis jurusan Bondowoso jam berapa?"
"Jam 14.00 mbak."
Karena tidak ada pilihan lain selain menunggu yasudah, mau gimana lagi. Naik ojek pun 250.000/orang dari Besuki ke Bondowoso. 😅 Uang habis di perjalanan.
Ya, nasib backpacker yang hanya dua perempuan saja. Wonder woman yak!
![]() |
Terminal Situbondo yang berada di letter U, berdampingan dengan pasar dan banyak pedagang asongan. |
14.17 bis yang ditunggu-tunggu dalam kepastian akhirnya datang juga, alhamdulillah. Naik bis Ladju dengan tarif 8.000/orang.
“Eh, nyantol!” ucapku. “Mbak, coba pesan juga biar kita
berangkat bareng,” sahut Ludvi. “Oke!”
Dan, hanya ada satu ojek online saja waktu itu. Ojeknya
pun sudah datang menghampiri kami dan kami berbincang terkait cara menuju ke
Kawah Ijen. Ojek online-nya seorang mas-mas masih muda, putih dan ya lumayan 😄✌🏼
Awalnya masnya menawarkan untuk naik bertiga 😲 what!
“Samean udah pernah ke sana? Tahu treknya?” tanya Ludvi
dengan nada kesal dan heran.
“Belum Mbak, tapi nggak papa coba ayo!” jawabnya.
“Gimana Mbak?” tanya Ludvi sambil mengarahkan pandangan
padaku, “Aku nggak yakin, nggak feeling. Masalahnya sama-sama belum tahu
medannya kayak gimana, kalo kenapa-kenapa di jalan gimana? Udah sore ini,”
jawabku dengan menarik Ludvi sedikit menjauh untuk berdiskusi.
“Udah, gini aja kamu berangkat aja nggak papa, aku menunggu
di sini sampai ada angkot atau mobil datang,” celetukku.
“Yo nggak mau, kita berangkat bareng pulang juga bareng.
Nggak berangkat satu nggak semua,” jawab Ludvi dengan manyun.
“Yaudah, batalin aja itu ojeknya biar bisa mencari yang
lain, bismillah kita cari cara lain untuk ke sana. Aku yakin pasti bisa ke
sana,” seruku.
“Oke!” jawab Ludvi sambil melangkah berbalik menuju ojek
tersebut.
Hampir setengah jam kami menunggu tidak ada satupun
kendaraan umum atau persewaan jeep yang datang. Lalu, datang seorang bapak
berbadan gemuk dan berkumis, memakai topi, kaos lengan panjang, dan celana
panjang berjalan menghampiri kami.
“Samean-samean mau kemana?” tanyanya.
Serentak kami menjawab, “Mau ke Kawah Ijen, Pak.”
“Kalo jam segini nggak ada kendaraan menuju ke sana,
maksimal pukul 15.00. Tadi ada rombongan dan itu kloter terakhir. Kalo samean
sampai sini pagi atau siang bisa naik jeep bareng rombongan lain,” jelas bapak tersebut.
“Itu tadi kita transit dulu Pak dan menunggu lama,
makanya sampai sini sore. Terus gimana Pak? Tanya Ludvi dan aku melanjutkan,
“Apa ada ojek atau apa gitu yang bisa mengantar kami pulang pergi ke sana?”
“Samean mau naik bertiga bayar 300.000? Saya antar naik
dan turun, daripada menunggu kendaraan lain yang ada sampai sana malam, bahaya
apalagi perempuan berdua.”
“Kalo bertiga malah bahaya Pak, apalagi kami nggak tahu
medannya kayak gimana,” jawab Ludvi dan aku melanjutkan, “Apa bisa dicarikan
teman untuk mengantarkan kami berdua Pak?”
“Sebentar, kalian tunggu sini. Saya hubungi teman saya,”
“Baik.”
Beberapa menit kemudian datang seorang bapak bertubuh tinggi dan ramping, memakai jaket hitam, celana panjang dan sepatu. Setelah berdiskusi lama dan bernegoisasi akhirnya menemukan harga kesepakatan, 150.000/motor untuk berangkat. Jadi, total 300.000/orang pulang pergi.
Kalau sewa jeep sekitar 700.000.
16.37 Selama perjalanan aku termenung di belakang. Uangku cukup nggak ya? Allah, ridhoi
kami dan bantulah hamba untuk bisa pulang.
16.46 masyaallah pemandangan senja yang menawan,
berangkat dari terminal Purabaya bertemu dengan mentari sampai mentari
tenggelam dan aku belum juga sampai tujuan. Melihat di maps, membaca
artikel-artikel di blog untuk memperkirakan estimasi biaya dan waktu, tapi alam mempunyai dramanya
sendiri, ya Tuhan dengan skenario-Nya.
Baru beberapa menit perjalanan, sudah disuguhkan dengan kemacetan perbaikan proyek jalan.
17.04 alhamdulillah sudah memasuki Kabupaten Bondowoso, wuhuu sudah tak sabar untuk menikmati rebahan malam sebelum tracking.
Selamat Datang Di Kawasan Agropolitan Kabupaten Bondowoso. |
Sudah mulai terasa dinginnya alam, menyusuri jalanan aspal yang begitu kecil dengan dihimpit oleh rumput-rumput dan memasuki kawasan hutan dimana banyak terdapat pohon pinus menjulang tinggi. Ya, hari sudah sangat sore menjelang maghrib kami berempat berkendara memasuki alas bondowoso.
Dari kejauhan aku mengamati dan menelisik menembus
gelapnya malam yang hanya memakai senter lampu motor saja, serta aku yang terus
bersenandung sholawat dalam hati. Terlihat dari kejauhan ada seperti rumah dan
ada sesosok tubuh yang aku masih menerka-nerka apakah itu manusia atau bukan?
Aku harap benar manusia.
18.33 terlihat plang hijau di sebelah kanan jalan bertuliskan Kebun Blawan Ijen Bondowoso.
Karena butuh untuk ke kamar mandi
kami pun sekalian berjalan menyusuri area tersebut. Terdapat jalan setapak
kecil lurus ke depan sampai terdapat portal, itulah jalan memasuki tracking
Kawah Ijen. Di sebelah kanan terdapat tempat pembelian tiket yang dibuka pukul
01.00.
Dari awal masuk terdapat area
rumput yang seperti lapangan luas, di pojokan geser ke kiri terdapat toilet
umum yang dapat digunakan.
Sekalian berwudhu untuk melaksanakan sholat isya’ yang dijama’ dengan maghrib. Karena hanya memakai sepatu panthopel karet aku mencoba melepas dan menginjak rumput tanpa alas. Uwah! Dinginnya rumput seusai terkena hujan yang tak cukup lebat tapi dinginnya cukup membuat bulu bergidik. Karena tak sanggup menahan dingin aku memakai sepatuku kembali.
Berjalan berbalik menuju area rumah makan yang terlihat seperti gubug, tapi bersih dan nyaman dengan keramahan bapak ibu penjual di situ.Setelah sholat kami pun turun dari musholla, dinginnya malam membuat perut bernyanyi kembali, kamipun membeli nasi goreng dan susu.
Rencana awal setelah sampai, sholat, dan tidur, tapi karena alam mempunyai ceritanya sendiri alhasil kami susah tidur karena dinginnya malam yang membuat kaki ingin berlari mencari kehangatan. 😄
Aku yang memakai gamis bahan bukan katun dengan jaket biru parasit, celana panjang biasa, kaos kaki pendek yang ya tidak menghangatkan sama sekali, ditambah sepatu panthopel berbahan semi karet. Dengan membawa ransel mini berisikan baju ganti satu set, headlamp, air minum, roti satu plastik sedang, susu satu sachet 100ml, kupluk yang dibeli ketika di Bromo lalu, slayer yang ternyata tidak menghangatkan justru membuat bau keringat di leher. Terakhir, masker respilator.
Bercengkrama dengan pendaki lain, ada yang berasal dari Banyuwangi bahkan dari beberapa kota lain pun juga, masyaallah suasana malam yang baru aku rasakan pada alam terbuka. Sebenarnya mengantuk dan capek, tapi karena kurangnya persiapan membuat kami terjaga sepanjang malam sampai tiba waktunya untuk tracking malam.
01.04 Semua berbondong-berbondong menuju portal dihimbau untuk
berbaris dengan rapi dan menyiapkan senter selama perjalanan. Portal pun diangkat dan bismillahirrohmanirrohim.
Di posisi barisan pertama dengan para pendaki dewasa, asyik diajak mengobrol dan terutama pegangan ketika menanjak🤭✌🏼 lupa bawa treckpole.
Pertama kalinya menyusuri alam pada malam hari
cukup membuatku kaget dan mengamati sekeliling, begitu gelap gulita dan hanya dengan
lentera manusia serta cahaya bulan dari langit mengiringi setiap langkah kami. Berjalan
perlahan terjatuh bahkan hampir tersandung, panik mencari pegangan karena
gengsi kalo jatuh dan menangis. 😄
Ya Allah, lucu jika mengingat masa itu, masa dimana aku
yang baru belajar mendekat kepada alam, mencoba melampaui batas kemampuan diri
karena dingin. Ya, bagaimana tidak, terkena dingin yang begitu merasuk kepala
membuat hidung sebelah terus mengalir dan tubuh pun bagai kaku malas bergerak.
Di tengah tracking ada kejadian lucu dari Ludvi, 😄 Ya
Allah ada-ada saja dia. Clue: kantong plastik merah di sisi kiri jalan.
Hampir selama perjalanan hanya minum yang dibutuhkan,
untuk makan seperti bad mood karena mikir di atas kan nggak ada toilet, nggak
lucu kalo kebelet. ✌🏼
Sampai di pertengahan jalan, terdapat area datar
beralaskan kapur putih, serta sudah mulai tercium bau belerang. Di sebelah kiri
melihat ada tangga menuju ke bawah, yang dimana titik blue fire berada.
Oiya, di pertengahan track akan menemukan beberapa bapak menawarkan persewaan masker respilator seharga 25.000.
03.15 sampai di tangga menuju blue fire - dasar kawah ijen. Kecil, berliku, berbatu, dan gelap. Tidak ada pagar di sini maka pegang orang atau tebing batu yang ada.
Sedangkan, dari sisi timur terlihat mentari baru memunculkan sinarnya kembali setelah terbangun dari tidurnya.
Di ujung paling terlihat jauh sendiri, terdapat gunung-gunung yang berselimut kabut. Namun, aku belum sampai sana karena mengingat estimasi waktu untuk turun.
Udah, cukup gitu aja cerita yang masih teringat di pikiran ini. Mengetik sembari mengingat kembali pada kejadian kala itu agar mendapat feel dalam setiap kalimat.
Beberapa hasil foto selama di atas sampai tiba di pos Paltuding:
Komentar